Jumat, 30 Mei 2014

Wajah kaca.,






Senja datang terlalu cepat, jingganya mengaburkan pandangan yang memang sudah agak kabur. Demi ubur-ubur. Dan lalu semua tampak begitu kendur, tidak lagi pantas untuk berbikini sembari berjemur. Demi ubur-ubur. Ubur-ubur. Apa salah ubur-ubur yang begitu lentur?
Isak tangis mulai terdengar.
Satu. Dua. Tiga.
Satu-satu.
Dua-dua.
Tidak sampai tiga tubuh itu terlonjak. Matanya garang menantang, tak ada yang menetes lagi. Sekarang tubuh itu mulai menari, pelan tapi pasti. Masih sendiri. Melantai dengan gemulai. Masih sunyi. Lagi dan lagi, satu dua tiga hingga tak hingga. Sampailah putaran ke sekian mendamparkan dia di ujung lorong. Ada kaca di sana. Gemulainya terhenti, tariannya mati. Masih sendiri dan sunyi. Demi ubur-ubur. Matanya memerah, lengkap dengan bulir yang nyaris tumpah.

"Hei..aku cuma kaca, pantulanku tak sempurna."
 Aku butuh kornea. 

 *si bisu menggigit bibirnya sampai berdarah, agar si buta tahu ia terluka.
Kaca berbicara pada wajah yang tak lagi punya pantulan serupa.
Demi ubur-ubur.


Ambon, May 26, 2014 at 9:19pm

Jumat, 16 Mei 2014

Wooaaa....ini PAPUA..!!!

Papua, sebenarnya saya lebih suka menyebutnya Irian Jaya-terdengar lebih keren. Tidak pernah sedikit pun terpikir di kepala juga dalam mimpi saya akan ada di tempat ini, tempat yang hanya saya kenal dari lagu saja. Dari Sabang sampai Merauke, itu pun yang saya tahu Merauke bukan Jayapura, tanah yang saya pijak sekarang. Sekarang saya ada di Jayapura, tepatnya di bawah bukit(meski menurut saya lebih mirip gunung bertebing curam) Skyland perbatasan Distrik Abepura dan Entrop. Sebuah ibu kota provinsi yang sama sekali tidak tampak seperti ibu kota provinsi yang selama ini saya tau dan pernah saya datangi, bahkan tidak seperti kota asal sebelum disini-yang notabene bukan ibu kota provinsi, Malang.
Mendekati hari keberangkatan entah kenapa tidak ada debar berlebihan, tidak seperti biasanya yang selalu memikirkan ini itu. Bagus sih..jadi tidak terganggu istirahatnya, negatifnya jadi banyak barang kecil-kecil yang ketinggalan. Apabolebuat.
Sepanjang perjalanan tidak ada kendala berarti, kami memilih penerbangan malam. Diawali dengan sesi perpisahan berurai air mata di Juanda dan kehebohan Tania di Starbucks Makassar plus lari-larian sampai pagi di tengah puluhan orang tidur di Gate 2 3. Yah itulah makassar, berlian. Sepanjang perjalanan semua tampak gelap, yah namanya juga laut. Dan mendekati landing..dari kejauhan terlihat begitu indah, seperti berlian. Lampu-lampu itu membuat saya takjub, indah. Ketika jarak semakin dekat, rumah-rumah tampak seperti maket-maket yang sering saya lihat di mall atau di brosur perumahan. Lucu, mungil. Pulau Sulawesi, meski saya tidak benar-benar menginjak tanahnya-karna yang saya injak adalah lantai bandara, saya juga tidak pernah berpikir akan mencicipi udaranya.
Setelah bertolak dari Makassar kami menuju Biak. Matahari suda tampak, saya melihat sunrise dari pesawat, itu salah satu pemandangan terindah yang pernah saya lihat. Awan kemilau ditimpa cahaya keemasan dengan background laut berbagai warna-mulai biru pekat, karang putih, abu-abu, hijau sampai entah saya tidak bisa menyebut warna yang cocok untuk warna itu, hanya saja warna itu indah sampai membuat saya menitikkan airmata(abaikan fakta bahwa saya memang cengeng). Alam yang indah. Sungguh indah. Saya bersyukur sempat melihatnya. Mendekati Biak mulailah tampak pemandangan yang tidak hanya hijau dan biru, ada atap-atap rumah dengan jarak yang memang masih cukup jauh. Seperti pemandangan yang sering ada di film-film barat dengan setting jaman dulu-era koboi. Tapi itu sudah bagus, ada jalan yang tampak membelah hutan-mengingatkan saya pada jalan yang dilewati Edward Cullens dan Bella Swan setelah mereka menikah dan berangkat bulan madu. Selebihnya dikejauhan pola tanah tampak sama, tak ada jalan, yang ada sungai berwarna kecoklatan dengan lekukan yang sangat indah, eksotis. Dan sampailah..tarraaa...Frans Kaisiepo, bandara yang ada di Kota Biak. Kota dengan garis pantai yang sangat indah. Pantai di Jawa dan Bali tak ada apa-apanya. Transit lima belas menit saya habiskan di toilet pesawat yang riuh dengan tangis melengking Tania, yap dia pup dan dia benci ruangan sempit. Hawa panas mulai terasa dari pintu pesawat yang terbuka. Inilah Papua, pikir saya. Dan pesawat pun take off lagi menuju Jayapura. Pemandangan tak kalah indah, hutan yang masi benar-benar rimba, hijau full tanpa ada jalan yang membelah. Savana, padang rumput yang menutup bukit-bukit membentuk pola yang keren banget, jauh lebih indah dari pola karpet impor dari turki yang harganya mahal dan pernah saya tanyakan waktu dipajang di arena pameran di salah satu mall kota Malang. Bayi saya heboh, bukan karna pemandangan, tapi karna ada ‘kakak’ yang baru naik dari Biak duduk sebaris dengan kami. Itu pertama kalinya Tania berinteraksi dengan warga Papua, yang berkulit gelap, berambut keriting dan berpostur gempal. Oh ya..saya lupa, kesan saya dengan bandara Frans Kaisiepo adalah apa ya..lebih mirip lapangan tennis daripada bandara meski di foursquare bunyinya ‘bandara internasional’. Suami saya tertawa kecil, ‘ini Papua kamu mau berharap apa..’ katanya ketika saya heran melihat bandara itu. Baiklah lanjut dengan perjalanan menuju Jayapura. Saya disuguhi alam yang benar-benar indah, setelah Biak dengan pantai dan birunya laut, sekarang tanah dengan bukit yang hijau serta rimba yang pekat dengan pohon yang rapat. Mata saya tak pernah lepas dari jendela, meski mulut terus bernyanyi flying aeroplane yang sesekali disahut sama bayi saya. Indah. Indah. Indah. Dan saya jatuh cinta.
Sesampainya di Bandara Sentani, well masi tidak jauh dari Biak tapi ini lebi keren, seperti terminal-bukan lapangan tennis. Banyak porter yang menawarkan troley, saya heran knapa suami tidak menerima tawaran mereka memilih untuk berepot ria membawa barang kami yang tidak bisa dibilang sedikit. Yah ternyata tiap trolley yang ada di bandara sudah di klaim milik masing-masing porter dan kalau mau pake harus bayar jasa mereka dengan harga yang tidak murah untuk jarak kurang dari dua puluh meter saja. Dari bandara kami memilih taksi untuk ke rumah. Karna setelah diakumulasi angkot dan keribetannya itu transportasi yang paling efektif(meski saya masi ragu untuk bilang efisien). Selama ini di Jawa saya tidak pernah naik taksi lebih dari seratus ribu, tapi disini hampir tiga ratus ribu. Syok harga pertama. Selama perjalanan naik taksi pemandangan masih indah, Danau Sentani yang luas sekali dengan aneka rumah ditepinya, gunung, laut, bukit pasir keruk dan rimba tentunya. Semuanya membuatku berdecak, antara heran dan kagum plus berpikir ‘disinilah saya akan tinggal, di tempat yang saya tidak tahu harus menyebut apa, pegunungan atau pesisir pantai, semua bersatu disini’. Apa yang terjadi besok..Que sera sera.

August 23, 2013 at 9:35pm