Sabtu, 15 Agustus 2015

Ambon – Postingan yang terlambat satu tahun lebih.

Ambon, Maluku. Ambon City of Music, Ambon Manise, Amboina dan masih banyak lagi sebutan untuk kota kecil di pulau yang juga kecil ini. Lagi-lagi saya berada di kota yang tidak pernah terpikirkan atau terlintas di kepala saya. Yak, Kota AMBON. Belum genap setahun menyusun kehidupan di bumi cendrawasih mendadak suda harus pindah lagi. Baru delapan bulan, kalau diibaratkan bayi masih belum juga bisa berjalan dan memang seperti itu adanya. Belum puas menjelajah, belum puas mendatangi berbagai tempat yang eksotis, belum memberikan apa-apa pada masyarakat dan lingkungan yang ada di negeri timur matahari itu saat tiba-tiba ada pengumuman mutasi di kantor suami.

Begini ceritanya...ehem.

Jadi setelah berbulan-bulan tinggal di Jayapura dan menabung tiba saat kami untuk pulang ke Malang, niatnya berlibur plus sekalian suami ada tugas ke Jakarta. Setelah mengemas bawaan dan oleh-oleh sekadarnya berangkatlah kami ke Malang. Seneng sekaligus deg-deg an. Maklum pertamakali merasakan yang namanya mudik dari jauh. Sesampainya di malang besoknya suami langsung berangkat ke Jakarta sendirian. Kalau tidak salah ingat kurang lebih tugasnya tiga hari. Selama tiga hari itu saya menghabiskan waktu di rumah orang tua saya, di Bululawang. Baru setelah suami datang-tiga hari kemudian kami bekemas lagi untuk pergi ke rumah papa mama mertua. Masih ingat jelas kami sampai disana sore, dan seperti biasa semua keluarga sedang ngumpul. Rame-suasana yang ngangenin. Kebetulan waktu itu mama mertua sedang tidak memasak, dan lalu setelah ngobrol-ngobrol diputuskan mau beli nasi goreng kediri-yang entah dimana,lupa tempatnya. Berangkatlah ayah tania dan Mas Dhika-kakak ipar saya. Saya dan tania masih asyik main sama kakak-kakak sepupu tania. Eh..tiba-tiba ada telepon, ayah tania telepon. Saya kira mau tanya nasi gorengnya pake cabe apa tidak, eh ternyata dia bilang “Aku Mutasi ke Ambon”. Secara teknis tidak cuma satu kalimat itu sih, dia bilang di telepon sama Om Tepen (panggil saja begitu, karena nama panjangnya sangat panjang kalau tidak salah Sthepen Boy Luther Damanik) tapi yang saya ingat itu saja lainnya gelap. Lutut langsung lemas, kepala langsung pusing, teringat Jayapura. Pingin nangis, belum juga bisa stabil disana sudah harus pindah lagi. Cicilan kulkas dan mesin cuci saja belum lunas, sudah harus nyicil lagi kulkas dan mesin cuci di Ambon. Dua perabot rumah tangga yang krusial. Pening pokoknya. Setelah ayah tania datang dengan nasi goreng kedirinya nafsu makan saya sudah hilang total, begitu juga nafsu berlibur di Malang, yang ada di kepala cuma Ambon dan Ambon. Bagaimana nanti disana, tinggal dimana, pindahnya bagaimana, kotanya seperti apa, dan lain sebagainya. Akhirnya nangis juga. Ayah tania menghibur terus, dia bilang Ambon kotanya bagus, tertata, menyenangkan dan biaya hidup lebih murah dari di Jayapura-meski masih lebih mahal kalau dibandingkan dengan kota-kota di Jawa. Coba kamu tanya Mbak Tika-senior paskibra ayah tania sekaligus istri salah satu orang pajak yg penempatan Ambon juga. Saat itu juga saya message via inbox facebook tanya soal Ambon dan bagaimana..bagaimana. nekat sudah modal SKSD. Padahal belum pernah ketemu di dunia nyata. Syukurlah Mbak Tika membalas dengan ramah dan bilang juga Ambon kotanya sudah ramai, semua ada. Setelah itu saya googling tentang kota Ambon, dari wikipedia, blog traveler sampai portal berita dan tidak sedikit yang membahas kerusuhan. Makin mulas dan pusing. Meski sudah disebutkan kalau kota Ambon sudah aman tapi saya belum juga bisa tenang, malam itu karena kepala pusing saya tidur duluan, eh tiba-tiba mual sekali. Akhirnya muntah-muntah sampai lemes. Badan ngedrop, masih kepikiran soal mutasi mendadak. Kebiasaan jelek saya kalo sedang memikirkan sesuatu yang berbau galau dan sedih atau memikirkan sesuatu terlalu dalam selalu mempengaruhi kondisi fisik-langsung sakit. Hari berikutnya mulai bisa berpikir jernih, mulai mengatur strategi-berasa mau perang. Akhirnya kami memutuskan mempercepat liburan di Malang, rencananya kami di Malang sekitar dua minggu lebih maju jadi satu minggu. Segera kembali ke Jayapura, packing lalu terbang ke Ambon. Fix sudah.

Di hari yang ditentukan kami kembali ke Jayapura, dari Bandara Sentani kami di jemput Bude Adam-kerabat jauh yang kebetulan menetap di Jayapura juga dan Santi sekeluarga-teman baik dari SMP-SMA yang tinggal di Sentani. Setelah cipika cipiki ngobrol dan satu jam lebih perjalanan kami pun sampai ke rumah dinas pajak 1. Sampai di rumah ketemu tetangga yang memberi selamat atas pengumuman mutasi. Iyasih bergeser sedikit ke barat. Baiklah selamat..yey.
Di rumah lagi-lagi bingung mau mulai mengemas apa aja. Pingin nangis lagi. Baru kali ini pindah rumah, barang sudah banyak pula..bingung bagaimana bawa nya dan di kemas pakai apa. Waktu berkemas hanya tiga hari, karena kami sudah membeli tiket untuk penerbangan ke Ambon lewat Makassar tiga hari kemudian. Mau nggak mau tiga hari harus beres. Hari pertama...baru beresin baju aja. Hari kedua mulai mengemas perabot kesayangan yang mau dibawa. Lalu bingung..kayak masih banyak...banget yang belum terkemas. Mulai pingin nangis lagi, apalagi ayah tania juga tiap hari lembur menyelesaikan tugas sebelum pindah kantor. Baru hari ketiga-sekaligus hari terakhir dia bisa minta izin untuk pulang siang. Hari itu kami mengemas buku-buku. Karna terlalu berat kami putuskan untuk memaketkan buku-buku itu ke Malang. Mau dipaketin ke Ambon kami belum punya alamat tujuan, masih belum jelas akan tinggal dimana. Malam harinya kami keliling ke tetangga, memberikan oleh-oleh dari Malang beberapa benda kenang-kenangan dan berpamitan. Duh..pingin nangis, bagaimana pun juga mereka semua keluarga buat saya. Bahkan anjing-anjing komplek juga sudah tidak menggonggongi saya. Sedih pokoknya malam itu. Setelah ke tetangga kami melanjutkan packing-bagaimana pun juga memindahkan seisi rumah dalam tiga hari itu tidak mudah. Setelah dijajar ternyata banyak sekali-yaiyalah. Pasti overweight, padahal tabungan sudah terkuras buat beli refund tiket kembali ke Jayapura dan beli tiket untuk berangkat ke Ambon. Alhamdulillah dewa penolong kami adalah Santi dan keluarga yang bersedia dititipin barang-barang kami yang tidak terangkut ke Ambon sementara waktu. Lega sekali. Terharu, maaf ya San..aq ngrepotin terus.

Kami berangkat setelah subuh, menyusuri jalanan kota Jayapura yang masih sepi diantar teman kantor ayah tania. Perasaan campur aduk, seneng, sedih, penasaran, takut, etc. Kami menuju rumah Santi terlebih dahulu, menitipkan barang yang tidak terangkut. Pingin nangis-lagi. Sedih. Kali ini bener-bener sedih. Kami melanjutkan perjalanan ke Bandara Sentani-deket sih..sebelahan aja sama rumah Santi. Cuss...kami terbang ke Makassar. Sepanjang perjalanan perasaan masih campur aduk. Mata melihat jendela, menatap hijau belantara bumi cendrawasih dan birunya laut tapi isi kepala entah dimana. Sesampainya di Makassar pesawat transit sekitar satu jam. Kami mencoba mie titi, salah satu kuliner khas kota ini mumpung transit. Enak..suka..hehehe... lalu kami melanjutkan perjalanan ke Ambon dengan pesawat yang lebih kecil sepertinya. Take of nya mulus, sesampai di atas yang terlihat dominan biru, laut dan pulau-pulau kecil yang entah berpenghuni atau tidak. Tidak tampak atap bangunan. Medekati ambon awan mulai tebal, pesawat mulai bergeronjal, hati mulai kalut lagi. Gimana ini..gimana ini...gimana terus pokoknya. Tania tampak asik-asik aja. Yah dia mungkin mengerti kekalutan saya tapi belum memahami sepenuhnya. Akhirnya di kejauhan mulai kelihatan pulau kecil yang ramai, Pulau Ambon. Deg-deg an makin kencang. Hwaaa...akhirnya sampai juga. Kami mendarat dengan selamat di Pulau Ambon.  Setelah mendarat dan ambil bagasi kami mencari taksi. Secara teknis bukan taksi seperti di Jawa, tetapi lebih mirip mobil carteran untuk pergi ke pusat kota Ambon. Perjalanan masih panjang saudara. Untuk menuju kota kami diberi dua opsi, mau lewat tepi laut tapi memutar atau naik kapal fery menyeberangi teluk Ambon. Karena baru kali ini ke Ambon kami memilih untuk mengitari pinggir pantai, sekalian jalan-jalan. Beruntung kami mendapatkan sopir taksi yang ramah dan bisa berbahasa Jawa-tapi lupa namanya. Beliau menerangkan nama-nama daerah yang kami lewati, letak pusat perbelanjaan, kampus, kos-kosan-yang mungkin akan kami perlukan serta memberi tips tips untuk survive di Ambon. Terima kaih bapak taksi. Lepas dari bandara kami disuguhi pemandangan biru laut yang memukau di sebelah kanan, indah banget. Ambon pung laut deng pantai paling cantik eee... :p

Di kota kami menuju ke Victoria Guest House, sebuah penginapan di pusat kota-tepat di depan Gong Perdamaian Dunia dengan harga terjangkau, kami sudah memesan kamar disana untuk beberapa hari sembari mencari rumah dinas. Kamar kami lantai empat. Baiklah. Angkatin barang-barang naik tangga ke lantai empat. Yes. Olahraga. Ternyata view dari kamar kami sangat bagus. Pemandangan pusat kota Ambon, mulai dari Gong Perdamaian Dunia, Lapangan Merdeka, Taman Pattimura, Balaikota Ambon, dan Kantor Gubernur Maluku tampak tertata begitu apik. Apalagi lapangan merdeka yang tak pernah sepi dari orang berolahraga. Wow..orang Ambon rajin banget olahraga-pikirku waktu itu. Dan memang iya.. :D Keren. Menjelang malam, memasuki zona waktu lapar kami turun untuk mencari makan. Menyusuri jalanan sekitar Ambon Plaza, suasannay nyaman sekali banyak pedagang makanan pinggir jalan. Seperti di Malioboro tapi penjualnya lalapan semua. Kami putuskan mampir di warung tenda yang ada gambar cumi-cumi nya-semua da gambar cumi-cumi si,hehe.. saya memesan lalapan cumi dan ayah tania memesan lalapan udang, Tania idem sama saya. Ternyata rasanya enak...bangettt...entah karena lapar atau lama tidak makan  seafood. Udik banget lah, nasi buanyak juga abis. Haha... 


Besoknya ayah tania mulai ke kantor baru, lima menit jalan kaki dari Guest House. Hari pertama target dia cari info soal rumah dinas dan kredit motor. Alhamdulillah ada titik terang, ada rumah kosong di daerah Karang Panjang tapi kondisinya agak parah, jendela bolong tidak ada pintu beberapa atap jebol dan tidak ada saluran air kesana. Tidak ada pilihan lain. Berbekal uang yang tersisa kami meminta tolong orang untuk sedikit merapikan rumah dinas tersebut. Setidaknya pintu bisa dikunci dan kamar bisa buat tidur. Rumah itu nantinya akan di tempati berdua dengan pegawai yang baru juga pindahan dari Merauke, Mas Priyo namanya kebatulan saat itu belum berkeluarga. Tapi kami duluan yang masuk. Saya masih ingat betul tanggal 18 April kami keluar dari Guest House ke rumah dinas di Karang Panjang, malam ulang tahun saya. Tapi pingin nangis...ternyata kondisinya masi belum benar-benar seperti rumah yang bisa dihuni. Pintu sudah dibetulkan, tetapi kaca nako masih bolong-bolong di hampir semua ruangan. Kamar mandi belum ada saluran air. Satu-satunya perabot yang kami punya Cuma kasur yang dibeli sehari sebelumnya. Pingin nangis lagi. Malam pertama tidur di rumah baru-sebut saja begitu perasaan masih kalut. Hidup benar-benar dimulai lagi dari nol. Pas lagi asyik melamun tania mengigau..’slamat ulang tahun..slamat ulang tahun..’ sontak saya kaget lihat jam dan pas lewat tengah malam. Subhanallah. Kok ngigau dia pas banget. Saya senyum-senyum sendiri, dan akhirnya ikhlas sudah..bertekat ini yang ada kalau belum nyaman ya dibuat senyamannya pelan-pelan. Hari-hari berikutnya pelan-pelan..mulai menata, mengisi, membereskan dan menyamankan. Sekarang satu tahun lebih sudah berlalu dari malam itu. Masih ada kaca nako yang belum penuh, air juga masi belum lancar-masi harus numpang mandi di rumah tetangga, tapi rumah itu, sudah menjadi tempat paling nyaman yang ada di bumi ini sekarang-buat keluarga kecil saya. Alhamdulillah. 
Ambon itu indah. 
Ambon itu rumah.