Selasa, 09 Juni 2009

Mereda

Selaksa air seolah mendinginkan dan mendahagai ketika masih ada yang mau mengerti, masih ada yang memahami, masih ada yang tak berhenti membuatku berarti.
Lalu akupun percaya aku tak sendiri, sekalipun tak ada yang paham laju otak dan kedut nadi dalam diri. Meski tak berkata, meski tanpa bicara, tapi sahabatku ada. Terutama saat aku ada di puncak cerita. Betapa aku ingin menangis sepuasnya, betapa aku ingin memeluk seeratnya, betapa aku ingin berkeluh mungkin sampai bibirku melepuh. Sahabatku membuatku lupa semuanya. Cukup oleh kesanggupannya mengikuti yang kumau, cukup dengan kedatangannya yang tepat waktu, cukup dengan canda katanya yang sesekali membuatku ketawa, dan semua tereda.
Meski masih ada sisa.

Terima kasih sahabatku.

Tempat berkata

Apakah salah ketika kita menyuruh otak kita untuk bekerja? Apakah salah ketika mulut kita mulai berbicara? Apakah salah ketika kita mulai mengabadikannya dalam rangkaian kata?
Saat semua jawaban adalah salah. Patutlah kita menerima begitu saja?
Jawabannya 'tidak' bagi mereka yang punya hidup normal dan 'iya' bagi mereka yang punya luka serta trauma.
Lantas dimana tempat bagi mereka yang punya luka serta trauma untuk bebas berkata-kata, untuk bebas mengembangkan kesinambungan otak kanan dan kiri tanpa serasa di harakiri, untuk menuangkan imaji yang tak jarang berupa luapan emosi tentang keadilan kasih ilahi? Dimana? Gurun saharakah? Sungai amazonkah? Piramida mesirkah? Segitga bermudakah? Dalam gundukan sampahkah? Atau mungkin lapisan terdalam liang lahat?
Segala yang ada di dunia selalu kupercaya relatif. Sangat tergantung satu sama lain. Berkesinambungan.
Ketika seorang tak mampu menghargai oranglain, maka ia yang harus binasa.