Kamis, 20 Mei 2010

Lara Luka Luna



Di dalam ruang tiga kali tiga yang penuh dengan tumpukan buku dan kertas menggunung, terdengar deru blower cooler pad notebook yang menggerung halus. Ada modem yang berkelip-kelip. Ada sepasang tangan yang tiada lelah mengetik.

Terkadang tangan itu mengetik berjam-jam, semalaman. Dan ia harus mengetik cepat. Begitu banyak yang harus ia tulis. Terlalu banyak. Andai saja lengannya sebanyak gurita. Dengan pendar monitor di wajahnya, kedua mata berbalut kaca itu menyalang. Senyum asimetris tersungging. Lantas jemari itu bergerak penuh nafsu menelan.
Seperti aktivitas yang melelahkan, tapi ia tampak sangat menikmatinya.

Bidadari, aku ingin sekali tuli..,
sekawanan samurai terbuat dari huruf datang menyerang.,
mencacah harga diriku seperti daging cincang.,
mereka menghinaku, karena aku cuma bisa diam.,
mereka menyumpahiku, karena aku rela diabaikan.


Luna.

Dengan kepala bersandar ke dinding, ia mengamati poster-poster yang terpajang di kamarnya. Mengamati satu persatu dengan penuh perhatian. Kebiasaan yang tak pernah berubah. Sayangnya, kini semua itu tidak lagi bermakna, berbeda dengan mata bocahnya dulu. Luna tidak tahu apa yang hilang. Mata yang sama, manusia yang sama, tapi pandangan yang sama sekali lain.

Ketika jarum jam mulai berputar jauh meninggalkannya, Luna masih tidak beranjak. Diam pada posisi semula tapi tidak demikian dengan pikirannya yang sibuk mencari... bertanya... dimana batas itu? Batas ketahanannya untuk terus bersandiwara.

Ia iri dengan dirinya yang dulu. Luna yang tidak sadar. Luna yang tidak terganggu dengan fluktusi hidupnya. Luna yang tidak keberatan memiliki hati dingin tanpa api. Luna yang tak pernah bertanya. Lihat bagaimana sekarang pikirannya kewalahan mencari, mengais-ngais tumpukan dokumen usang... dan, oh, coba tengok apa yang ia temukan:


> Luna yang duduk di bangku kuliah <

Tiga tahun mengonsumsi ilmu ekonomi yang sama sekali tak diinginkannya. Melupakan hasrat kecilnya menjadi fisikawan muda dan menemukan gejala astrofisika baru. Yang terpahit ia harus mengabaikan surat panggilan registrasi akademis bagi calon mahasiswa yang telah diterima melalui jalur PMDK di jurusan fisika, surat yang sebenarnya amat ia tunggu-tunggu. Apinya padam.

Tahun pertama kuliah dihabiskannya dengan mengikuti berbagai organisasi kampus. Jurnalistik, penulisan karya ilmiah, perkoperasian, keagamaan, politik kampus, dll. Semuanya diikuti dengan setengah hati semata-mata untuk mengisi waktu, menumbuhkan minat berangkat kuliah dan menyenangkan hati orang tua. Tidak lebih.

Tahun kedua ia mulai bisa menikmati aktivitasnya, sudah mampu beradaptasi dengan hafalan dan ceramah satu arah meski rasa tidak suka itu masih ada. Tahun ketiga, tak adalagi Luna yang mampu menyelesaikan soal perhitungan mekanika kuantum. Luna yang dulu telah berevolusi menjadi Luna yang doyan berdebat tentang kebijakan-kebijakan sosial ekonomi.

Pikirannya pun terus mencari...


> Luna pada awal usia 20 <

Ia bertemu Laka. Pria santun dari keluarga ningrat berusia setahun lebih tua. Bibit, bobot, bebet-dan luluhlah hati kedua orang tuanya. Entah luluh atau justru mengencang. Orang tua mana yang tidak ingin punya mantu seperti itu. Awalnya memang menyenangkan. Bagaimana tidak kalau seluruh umat disekitarnya memuji setiap saat, berulang-ulang mengatakan betapa beruntungnya Luna dapat pria seperti Laka. Luna pun sependapat.


> Luna remaja <

Gadis belasan tahun yang aktif dan ceria. Jarang membuat masalah. Ia teman yang menyenangkan dan murid yang baik. Nilai rapornya tak pernah merah bahkan tak pernah bergeser dari tiga besar. Tapi kemudian pikirannya mensinyalir sesuatu... ada jejak keresahan yang tak pernah terungkap: mengapa nilai pelajaran eksaknya harus diatas tujuh sementara ia tak dapat pujian apa-apa kalau Bahasa Indonesia dapat nilai sepuluh? Mengapa ia harus lanjut sekolah di tempat yang jauh dari rumah, sedangkan ada sekolah yang cukup bagus dan lebih dekat? Mengapa ia harus masuk jurusan IPA dan ditertawakan waktu bilang ingin masuk jurusan Bahasa? Mengapa ia harus hidup begitu lama dalam pembanding-bandingan, ia dengan si A si B, anaknya si ini atau si anu? Mengapa tidak boleh nonton film di bioskop? Dan mengapa ia tidak pernah boleh berpacaran dengan laki-laki yang ia suka, semata-mata karena tipenya tidak sesuai dengan tipe orang tuanya?

Gilanya lagi, belasan tahun sudah lewat, Luna tetap tak punya jawaban untuk itu semua. Harapan terakhirnya...


> Luna bocah <

Sekalipun sulit, pikirannya mencoba untuk kembali... bermain lompat tali di halaman samping yang luas dengan teman-teman sebayanya sepulang mengaji sore hari. Pulang sekolah dijemput supir lalu menghabiskan waktu di rumah dengan berbincang dan belajar memasak dengan Lek Tri, pembantunya. Luna kecil yang jadi penurut di rumah. Di sekolah pun ia kesayangan para guru karena sejak kelas satu ranking pertama tak pernah berpindah darinya.


> Luna yang bersandar di dinding kamar <

Sekarang ia tahu apa yang sekiranya hilang, tetapi tetap tidak tahu cara mendapatkannya lagi.

Semua berawal dari satu gerakan.,
semua berawal dari satu ide.,
semua berawal dari satu getar sel abu-abu.,


Luna sanggup menghabiskan berjam-jam hanya untuk kembali mengenang. Siang itu. Merunuti rantai waktu yang membelitnya hingga kini.

Paginya di sela pelajaran IPA, wali kelasnya mengumumkan kelas akan selesai lebih awal karena akan ada rapat dewan sekolah. Luna kecil pulang dengan riang, sampai ditemukannya sepucuk surat di atas meja belajarnya.

Ass Wr Wb
Putriku Luna, ibu pulang ke rumah nenek selama tiga hari. Baik-baik di rumah jangan buat Papa marah.
Wss Wr Wb


Begitu singkat, namun tak biasa. Dan segalanya berjalan seperti biasa. Surat yang terlupa. Beberapa tahun berlalu, kala Luna menjadi siswa tahun kedua sekolah menengah pertama. Hal yang sama terulang, sepucuk surat serupa kembali ditemuinya. Otak kecilnya menemukan sesuatu ganjil, nalarnya pun mulai bekerja. Dicarinya koper arsip penting keluarga, membaca semua yang ada didalamnya. Ia pun tertegun. Tak percaya.

Sore hari ketika papanya pulang kantor, Luna dimarahi tanpa sebab yang jelas. Ia diam, sampai sebuah sabetan handuk yang di arahkan ke wajahnya. Perih. Luna mengaum keras, seterusnya. Hari-hari berisi pertengkaran, tak ada nonton tv bersama, tak pernah lagi dilakukan piknik minggu pagi. Di sekolah Luna mulai membolos, melawan peraturan, dan prestasinya turun drastis. Ia tak mau lagi di jemput supir, pulang sekolah tak pernah langsung pulang. Luna yang dulu seolah lenyap tak berbekas.

Saat SMA Luna memilih tinggal bersama kakak sepupunya. Ia menikmati lingkungan barunya, meski tanda tanya besar di kepalanya masih ada. Suasana rumah kembali tenang, Luna pulang. Semua tampak kembali seperti semula, seolah surat itu tak pernah ada. Namun satu yang berbeda, hatinya telah tertutup rapat.

-irama musik mengalun lembut-

Derung halus itu masih terdengar. Jari-jari itu terus bergerak lincah di atas tuts notebook. Asap dupa aroma terapi mengepul tepat di sebelahnnya. Sepasang mata itu menyalang.

Dear diary...
Ketika saya benar-benar muak dan bosan hidup dalam kematian ini, pernah saya terpikir untuk mengakhirinya saja. Benar-benar mati. Mungkin dengan benar-benar mati saya akan menemukan makna hidup. Tapi kenapa kematian yang ditentukan sendiri selalu dikecam? Kenapa mereka harus disalahkan? Tidakah mengagumkan orang yang berani memilih cara untuk mati bagi dirinya sendiri? Bukan gara-gara takdir, kuman penyakit, atau tangan orang lain. Tapi saya takut, masih terlalu pengecut . lupakan ide gila itu.

Malam ini hening. Suara-suara itu menyerang lagi : ‘kamu anak siapa? Lihat kelakuan ibu mu. Apa pantas seorang terhormat melakukan hal seperti itu? Tidak tahu malu, tidak punya harga diri, tidak tahu terima kasih. Nyatanya sekarang pergi menginap tanpa pamit suami. Kamu sudah besar. Bisa membedakan dan menilai kelakuan seseorang. Apa kamu mau seperti itu hah?! Pikir baik-baik, kamu bukan anak yanag bodoh. Apa mungkin kamu anakku hah?! Kalau mau tau siapa ayahmu tanya saja sama ibu mu. Tapi nanti setelah aku mati. Ngerti?!!’. Argh..........!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Sepertinya saya gila. Depresi.

Batasan antara gila dan waras rasanya sudah tidak bisa lagi dijadikan patokan dalam hidup ini. Adakalanya kegilaan alamiah membuat saya bertahan hidup di dunia yang sick atau sakit ini. Sedikit psikotik tidak akan membuat saya gila total. Saya diajari. Saya mengamati. Kepribadian menjadi mahkota atau inner beauty manusia. Kepribadian seharusnya menjadi karakteristik kuat setiap individu, tetapi usaha untuk merubahnnya demi mencapai tahap pengakuan atau eksistensi kadang membuat saya menjadi miring. Segala sesuatu bisa direkayasa. Bahkan menjadi gila pun bisa direkayasa. Saya melihatnya. Saya telah mempraktikannya sejak masih duduk di bangku SMA.

Hidup, tumbuh, berkembang dalam tekanan perasaan menjadikan saya sedikit mengerti manusia. Tiap manusia memiliki ego. Ego itu sendiri terbentuk dari instansi kepribadian yang paling mendasar. Intinya ego itu bertugas mempertahankan kepribadian manusia itu sendiri untuk menjamin penyesuaian dengan alam sekitarnya. Suatu cycle yang susah saya mengerti. Tapi satu poin yang saya pahami:adakalanya keindahan hidup muncul dari kacamata orang gila. Tetapi bukankah mereka semua mempunyai benih-benih untuk menjadi gila? Sama saja dengan kemungkinan manusia menjadi pemerkosa karena setiap manusia terlahir dengan libido yang dapat bermanifestasi sebagai perasaan liar. Sintingnya hanya teori itu yang mampu meredam kebencianku pada pemerkosa yang gen nya terkandung dalam darahku. Entah siapa?!! Yang pasti manusia dengan urat saraf putus.

Biarkan saya mengoceh. Malam ini saja. Di hari kelahiran saya. Dengan kebodohan saya, kubiarkan dirimu melihat saya... seperti telanjang. Tapi jangan protes saya karena tubuh yang tidak molek. Buka mata. Buka hati. Jangan menilai kepolosan tubuh saya. Tapi rasakan. Saya bukan pemeran utama. Saya hanya butuh orang dewasa.

Bertahun-tahun saya diam, memendam semuanya sendirian. Sekarang saya penat, nyaris sekarat. Muak dengan semua sandiwara yang tak ada habisnya. Berlaku manis, tenang ceria seolah tak ada apa-apa padahal badai sedang mengobrak abrik semesta jiwa tanpa ampun. Tersiksa diam yang mencekam, kelu tak tahu kemana harus mengadu. Ingin bertanya, ingin bercerita. Kawanku hanya kertas, pulpen, notebook saja. Komunikasi searah, seperti orang gila. Atau mungkin memang gila?! Entahlah.

Terkadang saya merasa iri pada teman-teman yang bercerita tentang aktivitas rumahnya, saran orang tuanya, tanggapan atas keluh kesah tugas atau ujian yang menumpuk. Hal yang sudah lama tidak saya dapatkan. Mungkin terakhir saat kelas 3SD. Sebelum peperangan itu dimulai. Lelah. Penat. Tiap manusia butuh istirahat. Butuh pelukan hangat.
Apa tak ada tempat bagi anak seperti saya. Yang tidak direncanakan. Yang tercipta karena suatu kecelakaan. Yang lahir karena gagal untuk digugurkan. Yang bahkan sampai dua puluh tahun tidak tau siapa laki-laki yang dna nya cocok dengan dna saya. Gilanya lagi semuanya saya biarkan berjalan begitu saja. Tak berdaya. tak kuasa. Ini gila.
Malam ini milik saya. Saya tidak boleh kalah dengan keadaan. Meski pahit. Meski sakit. Dan teramat ingin menjerit. Saya harus ceria. Meski terluka. Meski tersiksa. Saya bisa. Pasti bisa. Teorinya seperti itu.
Keep fighting. Keep smiling. Keep shining. For better future...


Semenit kemudian ruangan itu senyap. Tak ada lagi derung blower notebook. Yang tersisa hanya tik tok jam dinding dan abu sisa dupa di atas meja. Saat pagi tiba. Semua kembali seperti semula. Tak ada yang istimewa.

Hanya seorang Luna.