Ambon, Maluku. Ambon City of Music, Ambon Manise, Amboina
dan masih banyak lagi sebutan untuk kota kecil di pulau yang juga kecil ini.
Lagi-lagi saya berada di kota yang tidak pernah terpikirkan atau terlintas di
kepala saya. Yak, Kota AMBON. Belum genap setahun menyusun kehidupan di bumi
cendrawasih mendadak suda harus pindah lagi. Baru delapan bulan, kalau
diibaratkan bayi masih belum juga bisa berjalan dan memang seperti itu adanya.
Belum puas menjelajah, belum puas mendatangi berbagai tempat yang eksotis,
belum memberikan apa-apa pada masyarakat dan lingkungan yang ada di negeri timur
matahari itu saat tiba-tiba ada pengumuman mutasi di kantor suami.
Begini ceritanya...ehem.
Jadi setelah berbulan-bulan tinggal di Jayapura dan menabung
tiba saat kami untuk pulang ke Malang, niatnya berlibur plus sekalian suami ada
tugas ke Jakarta. Setelah mengemas bawaan dan oleh-oleh sekadarnya berangkatlah
kami ke Malang. Seneng sekaligus deg-deg an. Maklum pertamakali merasakan yang
namanya mudik dari jauh. Sesampainya di malang besoknya suami langsung
berangkat ke Jakarta sendirian. Kalau tidak salah ingat kurang lebih tugasnya
tiga hari. Selama tiga hari itu saya menghabiskan waktu di rumah orang tua
saya, di Bululawang. Baru setelah suami datang-tiga hari kemudian kami bekemas
lagi untuk pergi ke rumah papa mama mertua. Masih ingat jelas kami sampai disana
sore, dan seperti biasa semua keluarga sedang ngumpul. Rame-suasana yang
ngangenin. Kebetulan waktu itu mama mertua sedang tidak memasak, dan lalu
setelah ngobrol-ngobrol diputuskan mau beli nasi goreng kediri-yang entah
dimana,lupa tempatnya. Berangkatlah ayah tania dan Mas Dhika-kakak ipar saya. Saya
dan tania masih asyik main sama kakak-kakak sepupu tania. Eh..tiba-tiba ada
telepon, ayah tania telepon. Saya kira mau tanya nasi gorengnya pake cabe apa
tidak, eh ternyata dia bilang “Aku Mutasi ke Ambon”. Secara teknis tidak cuma satu
kalimat itu sih, dia bilang di telepon sama Om Tepen (panggil saja begitu, karena
nama panjangnya sangat panjang kalau tidak salah Sthepen Boy Luther Damanik) tapi
yang saya ingat itu saja lainnya gelap. Lutut langsung lemas, kepala langsung
pusing, teringat Jayapura. Pingin nangis, belum juga bisa stabil disana sudah
harus pindah lagi. Cicilan kulkas dan mesin cuci saja belum lunas, sudah harus
nyicil lagi kulkas dan mesin cuci di Ambon. Dua perabot rumah tangga yang
krusial. Pening pokoknya. Setelah ayah tania datang dengan nasi goreng
kedirinya nafsu makan saya sudah hilang total, begitu juga nafsu berlibur di
Malang, yang ada di kepala cuma Ambon dan Ambon. Bagaimana nanti disana, tinggal
dimana, pindahnya bagaimana, kotanya seperti apa, dan lain sebagainya. Akhirnya
nangis juga. Ayah tania menghibur terus, dia bilang Ambon kotanya bagus,
tertata, menyenangkan dan biaya hidup lebih murah dari di Jayapura-meski masih
lebih mahal kalau dibandingkan dengan kota-kota di Jawa. Coba kamu tanya Mbak
Tika-senior paskibra ayah tania sekaligus istri salah satu orang pajak yg
penempatan Ambon juga. Saat itu juga saya message via inbox facebook tanya soal
Ambon dan bagaimana..bagaimana. nekat sudah modal SKSD. Padahal belum pernah
ketemu di dunia nyata. Syukurlah Mbak Tika membalas dengan ramah dan bilang
juga Ambon kotanya sudah ramai, semua ada. Setelah itu saya googling tentang
kota Ambon, dari wikipedia, blog traveler sampai portal berita dan tidak
sedikit yang membahas kerusuhan. Makin mulas dan pusing. Meski sudah disebutkan
kalau kota Ambon sudah aman tapi saya belum juga bisa tenang, malam itu karena kepala
pusing saya tidur duluan, eh tiba-tiba mual sekali. Akhirnya muntah-muntah
sampai lemes. Badan ngedrop, masih kepikiran soal mutasi mendadak. Kebiasaan
jelek saya kalo sedang memikirkan sesuatu yang berbau galau dan sedih atau
memikirkan sesuatu terlalu dalam selalu mempengaruhi kondisi fisik-langsung
sakit. Hari berikutnya mulai bisa berpikir jernih, mulai mengatur
strategi-berasa mau perang. Akhirnya kami memutuskan mempercepat liburan di
Malang, rencananya kami di Malang sekitar dua minggu lebih maju jadi satu
minggu. Segera kembali ke Jayapura, packing lalu terbang ke Ambon. Fix sudah.
Di hari yang ditentukan kami kembali ke Jayapura, dari
Bandara Sentani kami di jemput Bude Adam-kerabat jauh yang kebetulan menetap di
Jayapura juga dan Santi sekeluarga-teman baik dari SMP-SMA yang tinggal di
Sentani. Setelah cipika cipiki ngobrol dan satu jam lebih perjalanan kami pun
sampai ke rumah dinas pajak 1. Sampai di rumah ketemu tetangga yang memberi
selamat atas pengumuman mutasi. Iyasih bergeser sedikit ke barat. Baiklah selamat..yey.
Di rumah lagi-lagi bingung mau mulai mengemas apa aja. Pingin
nangis lagi. Baru kali ini pindah rumah, barang sudah banyak pula..bingung
bagaimana bawa nya dan di kemas pakai apa. Waktu berkemas hanya tiga hari,
karena kami sudah membeli tiket untuk penerbangan ke Ambon lewat Makassar tiga
hari kemudian. Mau nggak mau tiga hari harus beres. Hari pertama...baru beresin
baju aja. Hari kedua mulai mengemas perabot kesayangan yang mau dibawa. Lalu bingung..kayak
masih banyak...banget yang belum terkemas. Mulai pingin nangis lagi, apalagi
ayah tania juga tiap hari lembur menyelesaikan tugas sebelum pindah kantor. Baru
hari ketiga-sekaligus hari terakhir dia bisa minta izin untuk pulang siang. Hari
itu kami mengemas buku-buku. Karna terlalu berat kami putuskan untuk memaketkan
buku-buku itu ke Malang. Mau dipaketin ke Ambon kami belum punya alamat tujuan,
masih belum jelas akan tinggal dimana. Malam harinya kami keliling ke tetangga,
memberikan oleh-oleh dari Malang beberapa benda kenang-kenangan dan berpamitan.
Duh..pingin nangis, bagaimana pun juga mereka semua keluarga buat saya. Bahkan anjing-anjing
komplek juga sudah tidak menggonggongi saya. Sedih pokoknya malam itu. Setelah ke
tetangga kami melanjutkan packing-bagaimana pun juga memindahkan seisi rumah
dalam tiga hari itu tidak mudah. Setelah dijajar ternyata banyak
sekali-yaiyalah. Pasti overweight, padahal tabungan sudah terkuras buat beli
refund tiket kembali ke Jayapura dan beli tiket untuk berangkat ke Ambon.
Alhamdulillah dewa penolong kami adalah Santi dan keluarga yang bersedia
dititipin barang-barang kami yang tidak terangkut ke Ambon sementara waktu.
Lega sekali. Terharu, maaf ya San..aq ngrepotin terus.
Kami berangkat setelah subuh, menyusuri jalanan kota
Jayapura yang masih sepi diantar teman kantor ayah tania. Perasaan campur aduk,
seneng, sedih, penasaran, takut, etc. Kami menuju rumah Santi terlebih dahulu,
menitipkan barang yang tidak terangkut. Pingin nangis-lagi. Sedih. Kali ini
bener-bener sedih. Kami melanjutkan perjalanan ke Bandara Sentani-deket
sih..sebelahan aja sama rumah Santi. Cuss...kami terbang ke Makassar. Sepanjang
perjalanan perasaan masih campur aduk. Mata melihat jendela, menatap hijau
belantara bumi cendrawasih dan birunya laut tapi isi kepala entah dimana. Sesampainya
di Makassar pesawat transit sekitar satu jam. Kami mencoba mie titi, salah satu
kuliner khas kota ini mumpung transit. Enak..suka..hehehe... lalu kami
melanjutkan perjalanan ke Ambon dengan pesawat yang lebih kecil sepertinya. Take
of nya mulus, sesampai di atas yang terlihat dominan biru, laut dan pulau-pulau
kecil yang entah berpenghuni atau tidak. Tidak tampak atap bangunan. Medekati ambon
awan mulai tebal, pesawat mulai bergeronjal, hati mulai kalut lagi. Gimana
ini..gimana ini...gimana terus pokoknya. Tania tampak asik-asik aja. Yah dia
mungkin mengerti kekalutan saya tapi belum memahami sepenuhnya. Akhirnya di
kejauhan mulai kelihatan pulau kecil yang ramai, Pulau Ambon. Deg-deg an makin
kencang. Hwaaa...akhirnya sampai juga. Kami mendarat dengan selamat di Pulau
Ambon. Setelah mendarat dan ambil bagasi
kami mencari taksi. Secara teknis bukan taksi seperti di Jawa, tetapi lebih
mirip mobil carteran untuk pergi ke pusat kota Ambon. Perjalanan masih panjang
saudara. Untuk menuju kota kami diberi dua opsi, mau lewat tepi laut tapi
memutar atau naik kapal fery menyeberangi teluk Ambon. Karena baru kali ini ke
Ambon kami memilih untuk mengitari pinggir pantai, sekalian jalan-jalan. Beruntung
kami mendapatkan sopir taksi yang ramah dan bisa berbahasa Jawa-tapi lupa
namanya. Beliau menerangkan nama-nama daerah yang kami lewati, letak pusat
perbelanjaan, kampus, kos-kosan-yang mungkin akan kami perlukan serta memberi
tips tips untuk survive di Ambon. Terima kaih bapak taksi. Lepas dari bandara
kami disuguhi pemandangan biru laut yang memukau di sebelah kanan, indah
banget. Ambon pung laut deng pantai paling cantik eee... :p
Di kota kami menuju ke Victoria Guest House, sebuah
penginapan di pusat kota-tepat di depan Gong Perdamaian Dunia dengan harga
terjangkau, kami sudah memesan kamar disana untuk beberapa hari sembari mencari
rumah dinas. Kamar kami lantai empat. Baiklah. Angkatin barang-barang naik
tangga ke lantai empat. Yes. Olahraga. Ternyata view dari kamar kami sangat
bagus. Pemandangan pusat kota Ambon, mulai dari Gong Perdamaian Dunia, Lapangan
Merdeka, Taman Pattimura, Balaikota Ambon, dan Kantor Gubernur Maluku tampak
tertata begitu apik. Apalagi lapangan merdeka yang tak pernah sepi dari orang
berolahraga. Wow..orang Ambon rajin banget olahraga-pikirku waktu itu. Dan memang
iya.. :D Keren. Menjelang malam, memasuki zona waktu lapar kami turun untuk
mencari makan. Menyusuri jalanan sekitar Ambon Plaza, suasannay nyaman sekali
banyak pedagang makanan pinggir jalan. Seperti di Malioboro tapi penjualnya
lalapan semua. Kami putuskan mampir di warung tenda yang ada gambar cumi-cumi
nya-semua da gambar cumi-cumi si,hehe.. saya memesan lalapan cumi dan ayah
tania memesan lalapan udang, Tania idem sama saya. Ternyata rasanya
enak...bangettt...entah karena lapar atau lama tidak makan seafood. Udik banget lah, nasi buanyak juga
abis. Haha...
Besoknya ayah tania mulai ke kantor baru, lima menit jalan
kaki dari Guest House. Hari pertama target dia cari info soal rumah dinas dan
kredit motor. Alhamdulillah ada titik terang, ada rumah kosong di daerah Karang
Panjang tapi kondisinya agak parah, jendela bolong tidak ada pintu beberapa
atap jebol dan tidak ada saluran air kesana. Tidak ada pilihan lain. Berbekal uang
yang tersisa kami meminta tolong orang untuk sedikit merapikan rumah dinas
tersebut. Setidaknya pintu bisa dikunci dan kamar bisa buat tidur. Rumah itu
nantinya akan di tempati berdua dengan pegawai yang baru juga pindahan dari
Merauke, Mas Priyo namanya kebatulan saat itu belum berkeluarga. Tapi kami
duluan yang masuk. Saya masih ingat betul tanggal 18 April kami keluar dari
Guest House ke rumah dinas di Karang Panjang, malam ulang tahun saya. Tapi pingin
nangis...ternyata kondisinya masi belum benar-benar seperti rumah yang bisa
dihuni. Pintu sudah dibetulkan, tetapi kaca nako masih bolong-bolong di hampir
semua ruangan. Kamar mandi belum ada saluran air. Satu-satunya perabot yang
kami punya Cuma kasur yang dibeli sehari sebelumnya. Pingin nangis lagi. Malam
pertama tidur di rumah baru-sebut saja begitu perasaan masih kalut. Hidup benar-benar
dimulai lagi dari nol. Pas lagi asyik melamun tania mengigau..’slamat ulang
tahun..slamat ulang tahun..’ sontak saya kaget lihat jam dan pas lewat tengah
malam. Subhanallah. Kok ngigau dia pas banget. Saya senyum-senyum sendiri, dan
akhirnya ikhlas sudah..bertekat ini yang ada kalau belum nyaman ya dibuat
senyamannya pelan-pelan. Hari-hari berikutnya pelan-pelan..mulai menata, mengisi,
membereskan dan menyamankan. Sekarang satu tahun lebih sudah berlalu dari malam
itu. Masih ada kaca nako yang belum penuh, air juga masi belum lancar-masi harus
numpang mandi di rumah tetangga, tapi rumah itu, sudah menjadi tempat paling
nyaman yang ada di bumi ini sekarang-buat keluarga kecil saya. Alhamdulillah.
Ambon itu indah.
Ambon itu rumah.