Papua, sebenarnya saya lebih suka menyebutnya Irian Jaya-terdengar lebih
keren. Tidak pernah sedikit pun terpikir di kepala juga dalam mimpi
saya akan ada di tempat ini, tempat yang hanya saya kenal dari lagu
saja. Dari Sabang sampai Merauke, itu pun yang saya tahu Merauke bukan
Jayapura, tanah yang saya pijak sekarang. Sekarang saya ada di Jayapura,
tepatnya di bawah bukit(meski menurut saya lebih mirip gunung bertebing
curam) Skyland perbatasan Distrik Abepura dan Entrop. Sebuah ibu kota
provinsi yang sama sekali tidak tampak seperti ibu kota provinsi yang
selama ini saya tau dan pernah saya datangi, bahkan tidak seperti kota
asal sebelum disini-yang notabene bukan ibu kota provinsi, Malang.
Mendekati hari keberangkatan entah kenapa tidak ada debar
berlebihan, tidak seperti biasanya yang selalu memikirkan ini itu. Bagus
sih..jadi tidak terganggu istirahatnya, negatifnya jadi banyak barang
kecil-kecil yang ketinggalan. Apabolebuat.
Sepanjang perjalanan tidak ada kendala berarti, kami memilih
penerbangan malam. Diawali dengan sesi perpisahan berurai air mata di
Juanda dan kehebohan Tania di Starbucks Makassar plus lari-larian sampai
pagi di tengah puluhan orang tidur di Gate 2 3. Yah itulah makassar,
berlian. Sepanjang perjalanan semua tampak gelap, yah namanya juga laut.
Dan mendekati landing..dari kejauhan terlihat begitu indah, seperti
berlian. Lampu-lampu itu membuat saya takjub, indah. Ketika jarak
semakin dekat, rumah-rumah tampak seperti maket-maket yang sering saya
lihat di mall atau di brosur perumahan. Lucu, mungil. Pulau Sulawesi,
meski saya tidak benar-benar menginjak tanahnya-karna yang saya injak
adalah lantai bandara, saya juga tidak pernah berpikir akan mencicipi
udaranya.
Setelah bertolak dari Makassar kami menuju Biak. Matahari suda
tampak, saya melihat sunrise dari pesawat, itu salah satu pemandangan
terindah yang pernah saya lihat. Awan kemilau ditimpa cahaya keemasan
dengan background laut berbagai warna-mulai biru pekat, karang putih,
abu-abu, hijau sampai entah saya tidak bisa menyebut warna yang cocok
untuk warna itu, hanya saja warna itu indah sampai membuat saya
menitikkan airmata(abaikan fakta bahwa saya memang cengeng). Alam yang
indah. Sungguh indah. Saya bersyukur sempat melihatnya. Mendekati Biak
mulailah tampak pemandangan yang tidak hanya hijau dan biru, ada
atap-atap rumah dengan jarak yang memang masih cukup jauh. Seperti
pemandangan yang sering ada di film-film barat dengan setting jaman
dulu-era koboi. Tapi itu sudah bagus, ada jalan yang tampak membelah
hutan-mengingatkan saya pada jalan yang dilewati Edward Cullens dan
Bella Swan setelah mereka menikah dan berangkat bulan madu. Selebihnya
dikejauhan pola tanah tampak sama, tak ada jalan, yang ada sungai
berwarna kecoklatan dengan lekukan yang sangat indah, eksotis. Dan
sampailah..tarraaa...Frans Kaisiepo, bandara yang ada di Kota Biak. Kota
dengan garis pantai yang sangat indah. Pantai di Jawa dan Bali tak ada
apa-apanya. Transit lima belas menit saya habiskan di toilet pesawat
yang riuh dengan tangis melengking Tania, yap dia pup dan dia benci
ruangan sempit. Hawa panas mulai terasa dari pintu pesawat yang terbuka.
Inilah Papua, pikir saya. Dan pesawat pun take off lagi menuju
Jayapura. Pemandangan tak kalah indah, hutan yang masi benar-benar
rimba, hijau full tanpa ada jalan yang membelah. Savana, padang rumput
yang menutup bukit-bukit membentuk pola yang keren banget, jauh lebih
indah dari pola karpet impor dari turki yang harganya mahal dan pernah
saya tanyakan waktu dipajang di arena pameran di salah satu mall kota
Malang. Bayi saya heboh, bukan karna pemandangan, tapi karna ada ‘kakak’
yang baru naik dari Biak duduk sebaris dengan kami. Itu pertama kalinya
Tania berinteraksi dengan warga Papua, yang berkulit gelap, berambut
keriting dan berpostur gempal. Oh ya..saya lupa, kesan saya dengan
bandara Frans Kaisiepo adalah apa ya..lebih mirip lapangan tennis
daripada bandara meski di foursquare bunyinya ‘bandara internasional’.
Suami saya tertawa kecil, ‘ini Papua kamu mau berharap apa..’ katanya
ketika saya heran melihat bandara itu. Baiklah lanjut dengan perjalanan
menuju Jayapura. Saya disuguhi alam yang benar-benar indah, setelah Biak
dengan pantai dan birunya laut, sekarang tanah dengan bukit yang hijau
serta rimba yang pekat dengan pohon yang rapat. Mata saya tak pernah
lepas dari jendela, meski mulut terus bernyanyi flying aeroplane yang
sesekali disahut sama bayi saya. Indah. Indah. Indah. Dan saya jatuh
cinta.
Sesampainya di Bandara Sentani, well masi tidak jauh dari Biak tapi
ini lebi keren, seperti terminal-bukan lapangan tennis. Banyak porter
yang menawarkan troley, saya heran knapa suami tidak menerima tawaran
mereka memilih untuk berepot ria membawa barang kami yang tidak bisa
dibilang sedikit. Yah ternyata tiap trolley yang ada di bandara sudah di
klaim milik masing-masing porter dan kalau mau pake harus bayar jasa
mereka dengan harga yang tidak murah untuk jarak kurang dari dua puluh
meter saja. Dari bandara kami memilih taksi untuk ke rumah. Karna
setelah diakumulasi angkot dan keribetannya itu transportasi yang paling
efektif(meski saya masi ragu untuk bilang efisien). Selama ini di Jawa
saya tidak pernah naik taksi lebih dari seratus ribu, tapi disini hampir
tiga ratus ribu. Syok harga pertama. Selama perjalanan naik taksi
pemandangan masih indah, Danau Sentani yang luas sekali dengan aneka
rumah ditepinya, gunung, laut, bukit pasir keruk dan rimba tentunya.
Semuanya membuatku berdecak, antara heran dan kagum plus berpikir
‘disinilah saya akan tinggal, di tempat yang saya tidak tahu harus
menyebut apa, pegunungan atau pesisir pantai, semua bersatu disini’. Apa
yang terjadi besok..Que sera sera.
August 23, 2013 at 9:35pm